Banyak buku telah ditulis untuk membantu meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan Autisme. Namun kebanyakan dari mereka ditulis dari sudut pandang profesional, orangtua, atau pendidik dari individu di spektrum Autisme. Kali ini saya akan memberikan resensi dua buku tentang Autisme yang ditulis langsung oleh individu di spektrum Autisme. Kedua buku ini ditulis dalam bahasa Inggris.
Buku pertama adalah Aspergirls: Empowering Females with Asperger Syndrome yang ditulis oleh Rudy Simone dan terbit pada tahun 2010. Simone adalah seorang ibu yang mendapat diagnosis Sindrom Asperger saat ia sudah berusia dewasa, tepatnya ketika anak perempuannya terlebih dulu mendapat diagnosis tersebut. Secara statistik, gangguan spektrum Autisme memang lebih jarang didiagnosis pada perempuan dan kerap diidentifikasi sebagai gangguan lain seperti gangguan kecemasan, fobia sosial, atau gangguan obsesif kompulsif. Melalui buku ini, Simone membagikan pengalaman pribadinya sekaligus riset dan tips praktis dalam memahami dan mendampingi individu dengan Sindrom Asperger. Berbeda dengan gangguan Autisme pada umumnya, yang ditandai oleh defisit dalam komunikasi verbal, individu dengan Sindrom Asperger dapat mengungkapkan diri lebih baik secara verbal dan umumnya mampu mendapat skor lebih tinggi pada tes inteligensi. Di sisi lain, sebagaimana individu di spektrum Autisme, individu dengan Sindrom Asperger menunjukkan minat yang terbatas dan kesulitan dalam komunikasi nonverbal.
Simone memaparkan berbagai karakteristik individu dengan Sindrom Asperger, salah satunya adalah kesulitan untuk mengelola input sensori. Indera manusia menerima berbagai informasi dari lingkungan dalam bentuk gambar, suara, aroma, sentuhan, dan lain-lain. Berbagai informasi tersebut dikelola oleh otak agar individu berikutnya dapat memutuskan untuk memusatkan perhatiannya pada informasi yang relevan dengan kebutuhannya. Pada individu dengan kesulitan integrasi sensori, perhatian justru terfokus pada informasi yang kurang atau tidak relevan. Hal inilah yang justru dipersepsikan sebagai perilaku bermasalah oleh lingkungan. Simone menyarankan agar orangtua dan individu dengan Sindrom Asperger mengenali dan mencatat input sensori apa saja yang dapat mengganggu kegiatan sehari-hari dan mencari cara untuk menghindarinya. Misalnya memakai bahan pakaian tertentu yang dianggap nyaman atau mengunjungi tempat baru beberapa kali untuk membiasakan diri dengan suasana di sana.
Terdapat pula berbagai pengalaman dan tips praktis untuk individu dengan Sindrom Asperger yang sudah dewasa. Di dunia kerja, individu dengan Sindrom Asperger bisa jadi sulit untuk bertahan di satu pekerjaan. Hal ini kerap terjadi bukan karena masalah kompetensi, namun karena kurangnya keterampilan untuk menjalin relasi sosial di pekerjaan. Simone juga mengajak pembacanya untuk berpikir secara jangka panjang. Ketika individu dengan Sindrom Asperger menua, terdapat beberapa potensi masalah, misalnya kesulitan finansial karena kesulitan mempertahankan pekerjaan, kesepian karena kesulitan menjalin relasi sosial atau masalah kesehatan.
Buku kedua adalah The Autistic Brain: Thinking Across the Spectrum oleh Temple Grandin dan Richard Panek yang dipublikasi pada tahun 2013. Grandin adalah pegiat advokasi Autisme dan Neurodiversitas. Gerakan ini menginisiasi cara pandang bahwa perbedaan struktural pada otak adalah sebuah keragaman, bukan defisit, termasuk perbedaan pada otak individu Autis. Grandin termasuk orang pertama yang secara terbuka mengakui kepada publik tentang diagnosisnya sebagai individu Autis. Hal ini tidak mudah, mengingat pemahaman tentang Autisme saat itu belum seperti saat ini. Seperti Simone, diagnosis Autisme baru diterima Grandin ketika dirinya sudah dewasa. Di bab awal bukunya, Grandin memaparkan pengalamannya semasa kecil dan perjalanannya untuk memahami kondisinya dan menerima diagnosis Autisme. Ibunya berperan penting dalam mendorong Grandin untuk mandiri di tengah lingkungan yang membatasinya. Grandin juga memaparkan kritiknya terhadap penggolongan gangguan spektrum Autisme di DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition). Menurutnya gangguan integrasi sensori merupakan satu karakteristik Autisme yang justru tidak menjadi kriteria diagnosis di DSM-5. Di samping itu menurut Grandin, pengelompokan beberapa diagnosis menjadi satu nama Autism Spectrum Disorder di DSM-5 justru tidak mempertimbangkan keunikan dan kelebihan individual dan membuat diagnosis hanya terpaku pada karakteristik fisiologis. Padahal individu Autis memiliki kemampuan yang berbeda, seperti lebih perhatian terhadap detil dan pola. Hal inilah yang seharusnya menjadi basis dalam pendidikan dan penanganan individu Autis, bukan terpaku pada hal-hal yang menjadi defisit individu.