Psychatter

Psychatter

chatting for better understanding

5-Minute Read

Ilustrasi hubungan fisik

Seksualitas adalah bagian dari kepribadian manusia yang berkaitan erat dengan kesehatan fisik dan mental. Bagaimana individu menghayati dan mengekspresikan pemikiran, perasaan dan ketertarikannya tentang seks berkembang sejak usia kanak-kanak hingga akhir hayat. Perkembangan ini turut diwarnai oleh sosialisasi serta nilai-nilai di lingkungan tempat individu berada. Pada pembahasan kali ini, tahapan perkembangan seksualitas akan dipaparkan secara umum untuk membantu pemahaman akan kondisi dan kebutuhan individu di tiap tahapannya.

Patut dicatat sebelumnya bahwa sebagaimana pada area perkembangan lainnya, sangat mungkin terdapat perbedaan dalam perkembangan seksualitas antar individu di dalam satu kelompok usia: Ada yang matang terlebih dulu, ada pula yang membutuhkan waktu lebih lama. Walaupun begitu, The National Child Traumatic Stress Network (2009) – organisasi di Amerika Serikat yang melayani anak dan keluarga dengan trauma – memaparkan beberapa ciri umum perkembangan perilaku seksual yang sehat:

  • Perilaku seksual dilatarbelakangi oleh rasa senang dan rasa ingin tahu, namun tidak bersifat agresif.
  • Perilaku seksual ditujukan kepada individu sebaya, individu yang berada di tahap perkembangan yang sama, dan berlangsung antara individu yang saling mengenal satu sama lain.
  • Perilaku seksual disetujui oleh setiap individu yang terlibat dan tidak berlangsung di bawah paksaan.
  • Perilaku seksual tidak mengakibatkan bahaya fisik atau emosional kepada semua pihak yang terlibat.

Perkembangan seksual berlangsung jauh sebelum dan sesudah masa pubertas. DeLamater dan Friedrich (2002) memaparkan tahapan perkembangan seksualitas manusia. Perkembangan ini dimulai sejak usia bayi, dimana ereksi dan lubrikasi vagina secara spontan dapat diamati pada bayi. Hal ini menunjukkan fungsi alat kelamin berkembang sejak usia dini. Di periode selanjutnya, anak di bawah usia tiga tahun kerap mengeksplorasi tubuhnya dan menyentuh alat kelaminnya layaknya masturbasi. Hal ini dilakukan karena mendatangkan rasa nikmat, bukan dengan fantasi seksual seperti orang dewasa.

Selanjutnya DeLamater dan Friedrich (2002) memaparkan di periode usia kanak-kanak terjadi perkembangan identitas gender, yaitu peran sosial laki-laki atau perempuan, misalnya melalui bermain rumah-rumahan. Anak belajar bahwa perempuan dan laki-laki tidak hanya memiliki alat kelamin yang berbeda, namun juga aktivitas yang berbeda di masyarakat. Orangtua di tahap ini berperan sebagai sumber informasi bagi anak. Relasi orangtua dan anak juga menjadi model dasar relasi sosial anak dengan orang di luar keluarga seiring pertambahan usianya. Di usia pra-pubertas, yaitu usia 8-12 tahun, anak mengeksplorasi seksualitasnya di kelompok yang sejenis kelamin. Selanjutnya ketertarikan seksual mulai muncul di sekitar usia 10-12 tahun.

Masuk ke periode pubertas, terjadi perubahan yang signifikan secara biologis dan sosial (DeLamater dan Friedrich, 2002). Organ seksual mencapai kematangan di dalam tubuh dan perubahan juga dapat dilihat dari penampilan individu, misalnya tumbuhnya payudara, munculnya kumis, perubahan suara, dan lain-lain. Perubahan fisiologis ini menciptakan kemungkinan adanya interaksi seksual, namun faktor sosial juga berperan dalam mendorong atau menghambat ekspresi seksual individu. Misalnya terdapat hubungan antara tingkat aktivitas religius atau rencana pendidikan jangka panjang dengan rendahnya aktivitas seksual pada remaja (Bancroft, dalam DeLamater dan Friedrich, 2002).

Usia remaja juga menjadi periode pencarian identitas, termasuk jati diri secara seksual (DeLamater dan Friedrich, 2002). Di akhir masa remaja, individu bisa jadi memiliki identitas seksual yang stabil atau justru mengalami konflik tentang peran gendernya. Identitas seksual mencakup pula ketertarikan individu kepada jenis kelamin tertentu. Remaja mendapatkan lebih banyak informasi tentang seks dan hubungan intim melalui media sosial dibandingkan dari orangtua, teman sebaya, atau bahkan pihak profesional. Hal ini berpotensi menimbulkan misinformasi tentang seksualitas yang sehat.

Pada periode usia dewasa, tugas perkembangan seksualitas individu di antaranya adalah komunikasi seksual kepada pasangan, isu reproduksi, dan pencegahan penyakit menular seksual (DeLamater dan Friedrich, 2002). Individu dewasa memiliki beberapa pilihan gaya hidup seksual: Melajang, selibat, berpasangan secara monogami dan jangka panjang, kohabitasi, menikah, atau variasi lainnya. Di periode ini individu juga mengeksplorasi berbagai aktivitas seksual, misalnya senggama vaginal, anal, seks oral, dan lain-lain. Di masa ini terdapat tantangan dalam mengkomunikasikan gaya hidup seksual individu kepada lingkungan, serta komunikasi kegiatan seksual dengan pasangan. Kepuasan seksual berkaitan erat dengan tiga faktor: Penerimaan seksualitas diri, kesadaran dan penerimaan akan preferensi seksual pasangan, dan keterbukaan komunikasi seksual dengan pasangan (Maurer, dalam DeLamater dan Friedrich, 2002). Penyakit, kecelakaan atau perpisahan dengan pasangan turut mempengaruhi kehidupan seksual individu.

Di masa dewasa akhir, individu mengalami perubahan biologis melalui menopause atau andropause. Menurunnya produksi hormon estrogen dan testosteron mempengaruhi aktivitas seksual individu di masa dewasa akhir. Pada wanita misalnya, berkurangnya lubrikasi vagina menimbulkan rasa sakit saat senggama. Pada pria, ereksi terjadi lebih lambat dan umumnya dibutuhkan waktu lebih lama untuk kembali ereksi setelah orgasme. Walaupun begitu, aktivitas seksual tetap dapat dilakukan oleh individu dewasa akhir yang sehat dan aktif. Namun DeLamater dan Friedrich (2002) juga menyatakan lingkungan sosial turut mempengaruhi aktivitas seksual individu di masa dewasa akhir. Aktivitas seksual individu dewasa akhir umumnya kurang dapat diterima oleh lingkungan sehingga mempengaruhi individu untuk tidak melakukannya.

Perkembangan seksual terjadi sepanjang hidup. Pengalaman individu di tahap perkembangan awal turut mewarnai perkembangan seksualitasnya di tahap selanjutnya. Di samping pertumbuhan fisik, nilai-nilai dan budaya di lingkungan berperan penting dalam menentukan bagaimana individu menghayati dan mengekspresikan seksualitasnya. Perbedaan penghayatan atau ekspresi seksualitas individu dengan nilai-nilai di lingkungan dapat menjadi potensi munculnya stres atau masalah kesehatan mental lainnya, baik di tahapan perkembangan saat ini maupun di tahap selanjutnya.

Referensi:

DeLamater, J. & Friedrich, W.N. (2002). Human sexual development, Journal of Sex Research, 39(1), 10-14, DOI: http://dx.doi.org/10.1080/00224490209552113

The National Child Traumatic Stress Network. (2009). Sexual development and behavior in children. Retrieved from https://www.nctsn.org/sites/default/files/resources//sexual_development_and_behavior_in_children.pdf

Recent Posts

Categories