Psychatter

Psychatter

chatting for better understanding

6-Minute Read

Ilustrasi tanda hati

Seksualitas adalah salah satu aspek kepribadian individu yang diatur oleh norma-norma di masyarakat. Setiap masyarakat memiliki norma yang bisa jadi berbeda dengan kelompok lain atau berubah seiring perjalanan waktu, misalnya tentang seks di luar nikah, homoseksualitas, masturbasi, seks anal, dan berbagai perilaku seksual lainnya. Norma tersebut disosialisasikan kepada individu sejak usia dini melalui keluarga, sekolah, institusi agama, atau media. Dalam budaya Indonesia, seks umumnya diatur agar terjadi di dalam pernikahan. Kondisi ini bisa menjadi tantangan bagi individu lajang yang tidak berada dalam ikatan pernikahan, karena seksualitas adalah bagian dari diri yang tidak tergantung dengan kondisi sosial atau status pernikahan individu.

Seksualitas berkaitan erat dengan kesehatan mental individu. Menurut Schneider (2019) seksualitas berhubungan dengan beberapa kebutuhan psikologis yang mendasar, misalnya identitas diri, rasa memiliki, atau keberhargaan diri. Hal ini membuat seksualitas memainkan peranan penting dalam kesehatan mental secara umum. Ketika individu lajang memiliki kesulitan untuk mengadaptasi kebutuhan seksualnya dengan tuntutan lingkungan, bisa jadi muncul perasaan tertolak atau tidak layak. Kondisi ini dapat membawa pada masalah relasi sosial maupun munculnya pandangan atau perasaan negatif terhadap diri sendiri.

Relasi interpersonal didasari oleh attachment atau kelekatan yang berkembang sejak usia dini, antara bayi dengan pengasuhnya (Schneider, 2019). Pola relasi ini dibawa hingga relasi di usia dewasa, termasuk dalam relasi seksual. Terdapat beberapa jenis pola kelekatan dalam relasi dan pola yang paling adaptif adalah secure attachment. Dua individu yang memiliki secure attachment mencari kedekatan satu sama lain dan merasa aman saat bersama. Termasuk saat mengalami stres atau ancaman, mereka akan saling mencari kedekatan satu sama lain sebagai usaha meregulasi diri. Menariknya walaupun kelekatan dalam relasi berkembang dalam jangka waktu yang lama, secure attachment tidak otomatis akan terjadi antara individu yang menghabiskan banyak waktu bersama, melainkan antara individu yang saling memahami. Dua individu yang memiliki kelekatan saling memahami sehingga dapat merespon dengan tepat kebutuhan individu yang lain.

Menurut Schneider (2019) rasa aman dan keberhargaan diri yang muncul dari attachment berkaitan dengan tingginya kepuasan dalam relasi, termasuk secara seksual. Penerimaan, penghormatan dan penghargaan akan batasan pribadi individu juga berkontribusi pada kesehatan mental. Individu berfungsi lebih baik, lebih tangguh menghadapi stres, dan memiliki lebih sedikit kesulitan psikologis saat memiliki relasi interpersonal yang mendukungnya menghadapi masalah, termasuk dalam performa seksual. Sebaliknya masalah kesehatan mental berpeluang lebih besar muncul ketika rasa aman dalam relasi hilang, misalnya ketika terjadi perselingkuhan. Berakhirnya relasi secure attachment juga dapat memicu kesedihan mendalam, disorientasi, atau hilangnya rasa keberhargaan diri.

Di samping itu sexual self-concept atau konsep diri secara seksual turut berperan dalam perilaku seksual individu. Konsep diri secara seksual berkembang sejak usia remaja saat individu mengalami pubertas, yaitu proses kematangan organ seksual dan reproduksi. Menurut Hensel et al. (2011) sexual self- concept adalah kerangka berpikir yang membantu individual memahami pengalaman seksual dan memberikan struktur dan motivasi yang berkaitan dengan perilaku seksual. Ia bersifat dinamis, berkaitan dengan pengalaman individu di lingkungannya di tahap perkembangan sebelumnya serta berhubungan pula dengan perilaku seksualnya di masa sekarang. Misalnya individu yang pernah mengalami pelecehan seksual namun tidak mendapat penanganan yang memadai bisa jadi memandang seks sebagai kegiatan yang menyakitkan atau memalukan. Contoh lainnya adalah individu yang terbiasa mengkonsumsi pornografi bisa jadi kurang memiliki pemahaman yang realistis tentang kegiatan seksual karena terbiasa melihat materi seksual yang dibuat secara dramatis.

Sexual self-concept memiliki beberapa dimensi. Dimensi pertama adalah keterbukaan secara seksual, yaitu pengenalan individu tentang hal yang bisa membawa kenikmatan atau rangsangan secara seksual serta apakah ia berhak melakukan kegiatan seksual tertentu. Penelitian yang direkam Hensel et al. (2011) menemukan responden perempuan yang memiliki pemahaman realistis tentang hubungan romantis dapat mengantisipasi munculnya hasrat seksual. Saat keinginan tersebut muncul, responden dengan tingkat keterbukaan seksual yang tinggi dapat mempraktekkan perilaku seksual yang aman (menggunakan kontrasepsi atau kondom, melibatkan persetujuan kedua belah pihak) dan mampu menunda hubungan seksual bila tidak sesuai dengan aspirasinya. Hal ini menjadi menarik karena pengenalan individu akan hal yang dapat merangsangnya secara seksual tidak otomatis membawanya untuk mengejar rangsangan tersebut melainkan membuat lebih mawas diri akan dorongan tersebut. Rangsangan dan kenikmatan seksual juga bervariasi antar individu.

Dimensi kedua adalah sexual esteem, yaitu keberhargaan diri secara seksual. Dimensi ini berkaitan dengan positif negatifnya evaluasi individu tentang pemikiran, perasaan dan perilaku dirinya secara seksual, serta positif negatifnya persepsi tentang tubuhnya dalam konteks seksual. Penelitian yang direkam oleh Hensel et al. (2011) menemukan bahwa responden penelitian perempuan dengan tingkat sexual esteem yang tinggi memiliki kesiapan yang tinggi pula untuk mendiskusikan dengan pasangan tentang aktivitas seksual yang dapat membawa kepuasan kepada kedua belah pihak. Hal ini disebabkan individu tersebut memandang kegiatan seksual secara positif sehingga mengusahakan kepuasan untuk dirinya dan pasangan.

Dimensi ketiga adalah sexual anxiety atau kecemasan secara seksual. Dimensi ini merujuk pada ketegangan, rasa tidak nyaman dan evaluasi negatif lainnya tentang aspek seksualitas dalam diri. Tingginya kecemasan seksual berhubungan dengan rendahnya kesiapan terlibat dalam kegiatan seksual serta relasi romantis lainnya, misalnya berpacaran. Penelitian yang direkam oleh Hensel et al. (2011) menemukan bahwa kecemasan secara seksual cenderung lebih tinggi di usia remaja awal dibandingkan dengan di usia remaja akhir. Hal ini berkaitan dengan lebih banyaknya pengalaman individu seiring pertambahan usia dan meluasnya pergaulan sosial.

Menurut Hensel et al. (2011) lingkungan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi sexual self-concept, juga pada individu yang tidak memiliki pengalaman seksual secara langsung. Anggota keluarga, teman, pendidikan seksual dan media menjadi model yang dapat mempengaruhi sexual self-concept individu. Hal senada ditemukan pada penelitian Denes et al. (2022), yaitu responden anak laki-laki berusia dewasa muda yang berbicara secara terbuka tentang seksualitas dengan ibunya memiliki tingkat kecemasan seksual yang lebih rendah dan kepuasan seksual yang tinggi. Hal ini berarti komunikasi yang terbuka dan tidak menghakimi tentang seks membantu individu dewasa muda untuk mengembangkan pemikiran, perasaan dan perilaku seksual yang positif dibandingkan sikap yang tertutup dan menabukan pembicaraan tentang seks.

Seks sehat bukan hanya diperlukan dalam kehidupan pernikahan. Penting pula bagi individu yang lajang untuk memiliki konsep diri secara seksual yang positif. Hal ini dapat dicapai dengan mengenali pola perilakunya dalam relasi interpersonal, mengenali hal-hal apa saja yang dapat merangsangnya secara seksual, mengetahui batas-batas perilaku seksual berdasarkan norma masyarakat sekaligus nilai diri pribadi, menghargai sisi seksualitasi diri, memelihara tubuh dengan baik, serta menghadapi kecemasan akan seksualitas yang mungkin muncul dengan mengedukasi diri dan terlibat dalam pergaulan sosial yang positif. Bila individu mengalami kesulitan melakukan hal-hal tersebut, konsultasi profesional dengan psikolog maupun seksolog dapat menjadi masukan berharga bagi pengembangan diri individu.

Referensi:

Denes A., Crowley, J.P., Gibson, L.P. & Hamlin E.L. (2022). Mother-son communication about sex: Exploring associations with emerging adult sons’ sexual self-esteem, anxiety, and satisfaction, American Journal of Sexuality Education, 17(1), 84-105, DOI: 10.1080/15546128.2021.1959474

Hensel, D. J., Fortenberry, J. D., O’Sullivan, L. F., & Orr, D. P. (2011). The developmental association of sexual self-concept with sexual behavior among adolescent women. Journal of Adolescence, 34(4), 675–684. https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2010.09.005

Schneider, T. (2019). Sex and Belonging: On the Psychology of Sexual Relationship. Sydney: Australian Academic Press.

Recent Posts

Categories