Sejak merebaknya pandemi Covid-19 tahun lalu, kegiatan menjaga kebersihan pribadi tidak bisa dipisahkan dari rutinitas sehari-hari. Mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak fisik, dan menggunakan masker adalah pencegahan pertama penularan penyakit. Menariknya, sebelum pertengahan abad ke-19 menjaga kebersihan pribadi bukanlah strategi utama untuk menjaga kesehatan. Pada tahun 1880, seorang ilmuwan asal Prancis bernama Louis Pasteur menemukan bahwa mikroba dapat menyebarkan penyakit. Sejak saat itu, dibarengi dengan kemajuan teknologi pengairan yang memungkinkan air mengalir di rumah, mencuci tangan atau mandi menjadi bagian dari rutinitas harian untuk menjaga kesehatan.
Bila mencuci tangan merupakan salah satu rutinitas penting untuk menjaga kesehatan fisik, terdapat pula rutinitas yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan mental. Pandangan inilah yang mendasari munculnya konsep mental hygiene dalam bahasa Inggris atau Psychohygiene dalam bahasa Jerman, yang berarti upaya meraih dan menjaga kesehatan mental. Bukan menjadi rahasia lagi bila terdapat kesenjangan dalam penanganan kesehatan fisik dan mental. Masalah kesehatan mental seringkali tidak dianggap serius, diartikan sebagai kelemahan pribadi atau sebagai suatu masalah yang hanya dibuat-buat oleh individu.
Masalah kesehatan mental, sebagaimana kesehatan fisik, muncul akibat interaksi antara faktor biologis atau genetis yang dibawa oleh individu dengan faktor lingkungan yang dialami individu selama rentang kehidupannya. Misalnya individu dengan kesulitan regulasi emosi kerap memiliki penginderaan yang lebih sensitif. Hal ini membuat individu memiliki persepsi yang berbeda dan seringkali hanya terfokus pada hal-hal yang menimbulkan perasaan negatif. Bila hal ini terus berlangsung tanpa penanganan dan semakin didorong oleh lingkungan yang tidak suportif, terdapat kemungkinan lebih besar baginya untuk mengembangkan masalah kesehatan mental. Bila dilihat lebih dekat, memang ada hal-hal yang individu dapat lakukan untuk menghindari timbulnya masalah. Namun tidak jarang individu harus juga menerima bahwa ada hal-hal yang sulit atau bahkan tidak bisa ia ubah.
Secara sederhana terdapat tiga langkah untuk menjaga mental hygiene. Langkah pertama adalah mengenali momen ketika perasaan yang tidak menyenangkan itu muncul. Coba lihat lebih dekat pula, apa simtom fisik yang dialami saat momen itu terjadi, kejadian pendahulu dan pemikiran yang muncul saat mengalami hal tersebut. Berikut adalah contoh yang bisa jadi berbeda-beda antar individu:
Momen | Perasaan | Simtom fisik | Kejadian pendahulu | Pemikiran yang muncul | |
---|---|---|---|---|---|
Sebelum presentasi di depan klien. | Gugup, cemas | Jantung berdebar-debar, perut mulas, tangan dingin, bernafas lebih cepat. | Klien merupakan klien baru yang belum dikenal. | „Saya ragu apakah saya bisa membawakan presentasi dengan baik“ | |
Kehilangan ponsel baru. | Sedih, kecewa | Dada terasa berat, otot terasa lemah, postur tubuh mengecil. | Mencoba menemukan ponsel dengan membongkar semua isi tas dan mencari di sekeliling rumah. | „Saya bodoh sekali hingga bisa kehilangan ponsel baru“ | |
Melihat seorang asing mencoba membongkar pintu mobil. | Marah | Dada terasa panas, jantung berdebar lebih cepat, otot langsung siaga bergerak. | Baru selesai berbelanja dan berjalan menuju tempat parkir mobil. | „Sekarang ini selalu terjadi pencurian, tidak ada tempat yang aman“ |
Analisis pribadi ini baiknya dilakukan dalam kondisi yang netral, saat kejadian yang tidak menyenangkan tersebut tidak lagi terjadi, atau setidaknya tidak seintensif saat pertama kali menghadapinya.
Langkah kedua adalah memberi penilaian akan perasaan dan pemikiran yang muncul dengan menelusuri lebih lanjut, apakah mereka wajar dan apakah mereka bermanfaat. Perasaan dan pemikiran kita adalah beberapa hal yang bisa kita regulasi sendiri. Simtom fisik dan kejadian di lingkungan tidak dapat kita kendalikan, namun kita bisa mengatur bagaimana berespon akan hal tersebut. Bila kita kembali ke beberapa contoh di tabel sebelumnya, bisa dilihat bahwa tidak semua perasaan dan pemikiran wajar dan bermanfaat. Merasa gugup sebelum presentasi di depan klien baru wajar dirasakan. Pemikiran bahwa presentasi bisa jadi tidak berjalan dengan lancar juga bisa menjadi pendorong bagi individu untuk mempersiapkan diri lebih baik. Sebaliknya, merasa sedih ketika kehilangan ponsel baru memang wajar, namun melabel diri sendiri sebagai bodoh tidak bermanfaat, baik ketika baru mengalami kejadian tersebut maupun di masa depan bila membeli ponsel lagi.
Waspada pula bila intensitas perasaan dan pemikiran terlalu ekstrim. Hal ini dapat dikenali bila dalam pemikiran dan perasaan terdapat kata-kata seperti „sekali“, „terlalu“, „selalu“ atau „pasti“. Pemikiran „Saya bodoh sekali“ tidaklah wajar karena semua orang pasti juga pernah melakukan sesuatu yang benar atau menghindari kesalahan. Begitu pula dengan pemikiran „Sekarang ini selalu terjadi pencurian“. Pencurian bisa terjadi kapan dan di mana saja, namun tidak mungkin terjadi setiap saat.
Langkah ketiga adalah mengapresiasi secara realistis hal positif yang terjadi. Hal ini merupakan keterampilan yang jarang terjadi secara otomatis sehingga perlu terus dilatih. Dari sisi evolusi, otak manusia memang lebih mudah mengenali sesuatu yang negatif atau aneh agar dapat menghindari bahaya. Dari contoh di tabel di atas, individu yang merasa gugup sebelum presentasi dapat mengapresiasi dirinya, bahwa ia telah bekerja keras sehingga mendapat kepercayaan untuk mewakili perusahaan di depan klien. Individu yang memergoki usaha pencurian misalnya dapat bersyukur bahwa hal tersebut dapat dicegah dan tidak membahayakan dirinya.
Selalu ada kesulitan dan kepahitan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang dapat memicu masalah kesehatan mental. Dengan memusatkan perhatian secara realistis pada perasaan dan pemikiran pribadi yang dapat dikendalikan, kita dapat menghindari tekanan psikis yang tidak bermanfaat. Bila hal ini sulit dilakukan secara mandiri, percakapan yang suportif dengan teman, keluarga, atau pihak profesional dapat membantu kita melakukan hal tersebut.