Topik kesehatan mental mendapat banyak sorotan semenjak meluasnya pandemi di tahun 2020. Rasa takut akan ambruknya sistem pelayanan kesehatan, ketidakpastian kondisi ekonomi, perubahan struktur kehidupan sehari-hari, serta pembatasan kegiatan dan interaksi sosial merupakan beberapa tantangan bagi kesehatan mental individu. Di samping itu, makin disadari bahwa kemampuan mengelola stres turut berkaitan dengan kemampuan tubuh melawan infeksi penyakit. Hal ini membuat usaha menjaga kesehatan mental semakin dirasa relevan di tengah pandemi. Bahkan setelah menjalani kondisi ini selama hampir 2 tahun, masih banyak hal yang perlu dipelajari tentang menjaga kesehatan mental.
Kesehatan mental didefinisikan oleh Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization sebagai kondisi sejahtera tatkala individu mengetahui potensi dirinya, dapat mengatasi stres yang umum terjadi dalam hidup, dapat bekerja secara produktif, serta mampu memberi kontribusi pada komunitasnya. Definisi ini mengambil sudut pandang yang berfokus pada hal positif yang dimiliki individu. Berbeda dengan sudut pandang patologi, kesehatan mental tidak terpaku pada kesulitan yang dialami individu atau ada tidaknya gangguan mental. Semua orang memiliki faktor-faktor resiko yang dapat membawa pada gangguan mental, namun setiap individu juga memiliki potensi yang membantunya mengatasi masalah, termasuk krisis akibat pandemi.
Kemampuan keluar dari krisis inilah yang menjadi tampaknya menjadi harapan di balik tema „Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh“ pada tema HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-76 di tahun ini. Ketangguhan diri, atau diistilahkan sebagai resiliensi dalam ilmu psikologi, didefinisikan sebagai kemampuan untuk kembali setelah mengalami kesulitan (Neenan, 2018). Menurut Neenan (2018), individu yang tangguh dapat secara mandiri mengatur dirinya untuk keluar dari kesulitan. Di samping itu individu yang tangguh mampu menerima kondisi diri, mencari alternatif penyelesaian masalah, serta menyadari bahwa hidup lebih besar daripada kesulitan diri.
Ketangguhan diri memang ditemukan berkaitan erat dengan kesehatan mental. Dari meta-analisis terhadap 55 penelitian di perpustakaan nasional di Jerman, Färber & Rosendahl (2018) menemukan pasien yang mampu beradaptasi dan fleksibel tetap menunjukkan emosi positif walaupun kesehatan fisiknya sedang terganggu karena mengalami penyakit tertentu. Penelitian lainnya oleh Wu (2020) di China menemukan mahasiswa tingkat awal memiliki tingkat kesehatan mental dan resiliensi yang lebih rendah. Hal ini disebabkan mereka harus beradaptasi dengan lingkungan akademis yang baru. Menariknya di semester selanjutnya kondisi ini membaik dan justru kembali memburuk saat mereka menjadi mahasiswa tingkat akhir. Mereka harus mempersiapkan diri menghadapi tantangan baru seusai masa kuliah yang berbeda dengan di awal kuliah.
Neenan (2018) mengingatkan bahwa ketangguhan diri bukanlah kepribadian yang bersifat menetap. Ketika situasi berubah, ada kemungkinan ketangguhan diri juga berubah. Hal ini bisa diamati saat individu kehilangan pasangan hidup atau mengalami kecelakaan. Perubahan situasi secara tiba-tiba dan hilangnya dukungan dari orang yang penting dapat membuat individu kesulitan keluar dari situasi tersebut. Selain itu individu yang tangguh juga realistis. Mereka menerima perasaan sebagaimana adanya, menerima kesalahan sebagai bagian dari pembelajaran, berfokus pada hal yang mereka tahu dan dapat lakukan, dan tidak membandingkan diri dengan orang lain (Neenan, 2018).
Tidak ada orang yang 100% sehat secara mental. Bisa jadi ada individu yang mengalami masalah emosi namun tetap mampu berperan aktif di komunitasnya. Masalah adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup. Selain itu dibutuhkan waktu dan dukungan dari lingkungan untuk mengembangkan karakteristik yang mendukung kesehatan mental seperti ketangguhan diri. Perubahan terjadi sepanjang hayat dan manusia membutuhkan waktu dan banyak kesempatan untuk belajar hal yang baru. Terdapat kemungkinan yang kecil untuk mengetahui potensi diri atau mengelola stres secara efektif dengan hanya membaca satu buku, mengikuti satu seminar atau menjalani satu sesi konseling. Kita perlu memberi waktu kepada diri sendiri dan orang lain untuk berproses.
Selain itu adalah penting untuk menjaga kesehatan mental secara realistis. Patut terus diingat bahwa kesehatan mental adalah kondisi yang bisa berubah, termasuk kini di masa pandemi. Hanya sedikit orang yang memiliki pengalaman menghadapi pandemi dan secara struktural hampir tidak ada masyarakat di dunia yang siap mengalami pandemi. Oleh karena itu stres dan merasa kewalahan adalah hal yang normal.
Semoga kita tidak hanya menjadi manusia yang merdeka, namun juga merasa merdeka menjadi manusia: Manusia yang berubah, bisa melakukan kesalahan, membutuhkan waktu untuk belajar, memiliki masalah, namun juga memiliki potensi untuk keluar dari masalah. Selamat memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-76.