Psychatter

Psychatter

chatting for better understanding

5-Minute Read

Ilustrasi tanda perhatian

„Dia memang orangnya tidak bisa diam“
„Waduh, kunci motor ada di mana ya? Kok bisa lupa?!“
„Baiknya kamu pikir dulu sebelum bicara, jangan asal nyerocos
„Saya baru bisa semangat kerjakan tugas kalau sudah dekat tenggat waktu pengumpulan“

Kalimat-kalimat di atas kerap didengar atau digunakan untuk menggambarkan kondisi ketika individu sulit memusatkan perhatian pada tugas atau situasi yang sedang dihadapinya. Alih-alih berfokus pada hal yang penting, ia justru memperhatikan hal lain yang kurang relevan, sehingga mengesampingkan dan bahkan melupakan hal yang penting. Sebenarnya dapat dimaklumi bila hal ini terjadi sesekali dan bukan pada konteks yang penting. Tidak ada orang yang bisa selalu fokus 100% mengerjakan tugas sehari-hari. Namun menjadi masalah bila kondisi ini terjadi terus-menerus dan merugikan individu tersebut atau orang di sekitarnya.

Perhatian sendiri merupakan kata yang unik yang menggambarkan satu kegiatan yang kompleks. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata „perhatian“ berarti menunjukkan minat atau mengamati sesuatu secara teliti. Dalam bahasa Inggris, memberi perhatian diterjemahkan menjadi „paying attention“, yang berarti kegiatan ini memiliki tujuan dan dilakukan dengan serius sebagaimana ketika membayar (paying) sesuatu.

Kita mendapat berbagai informasi dari sistem penginderaan. Misalnya ketika membaca artikel ini, Anda mungkin tidak hanya melihat kata-kata, tetapi juga mendengar musik, mencium bau masakan dari dapur, merasa gerah, merasa sakit di pinggang, atau tiba-tiba teringat untuk menjawab pesan singkat di ponsel. Ada kalanya hal-hal yang lain justru dipandang lebih menarik atau lebih penting sehingga perhatian teralihkan. Ketika Anda tetap membaca di tengah banyaknya informasi yang lain, artinya Anda mampu memusatkan perhatian pada artikel ini. Perhatian memungkinkan individu untuk menyaring hal-hal yang ia lihat, dengar atau rasakan, untuk kemudian memilih hal apa yang ia proses lebih lanjut.

Hallowey dan Ratey (2021) memaparkan mekanisme pemusatan perhatian yang didasari pengukuran langsung di otak dengan menggunakan fMRI (Functional Magnetic Resonance Imaging). Ketika individu fokus mengerjakan satu tugas, beberapa kelompok sel neuron di otak akan bersama-sama teraktivasi. Kelompok sel ini dinamakan Task-Positive Network atau TPN. TPN memungkinkan individu untuk tetap mengerjakan satu tugas dalam rentang waktu tertentu. Saat individu mengalihkan perhatian ke hal lain, kelompok sel neuron yang lain akan teraktivasi, yaitu Default Mode Network atau DMN. DMN memungkinkan individu untuk berpikir secara imajinatif, mengingat masa lalu, atau membuat rencana masa depan. DMN teraktivasi misalnya saat individu melamun atau berpikir kreatif.

TPN dan DMN dapat diibaratkan seperti yin dan yang. Keduanya tidak terjadi bersamaan, namun saling melengkapi. Masalah terjadi bila individu mengalami kesulitan berpindah modus sesuai dengan tuntutan dari lingkungan. Misalnya saat menulis artikel ini di laptop, saya berada di modus TPN. Pada suatu waktu saya ingin mencari padanan kata tertentu agar artikel saya tidak membosankan, sehingga saya mengaktifkan satu situs internet untuk mencari definisi atau padanan kata. Maka saya berpindah modus ke DMN. Ketika sedang melihat situs internet tersebut saya melihat iklan yang menarik, mengklik di iklan tersebut, dan akhirnya saya justru melihat-lihat situs yang tidak ada relevansinya dengan artikel yang sedang saya tulis. Saya terdistraksi terlalu lama sehingga mengabaikan tugas yang seharusnya dilakukan. Atau sebaliknya, saya terus-menerus menulis artikel, atau tetap berada di modus TPN dalam waktu yang lama. Kondisi ini sering disebut sebagai hyperfocus. Saya tidak menyadari bahwa sudah beberapa jam berlalu dan melupakan jadwal pekerjaan lain yang juga penting untuk diselesaikan.

Konsekuensi dari ketidakmampuan untuk berpindah modus bisa jadi serius. Seorang anak berusia 8 tahun yang pernah saya dampingi di sekolah mengalami kesulitan mengerjakan tes berhitung. Di awal tes ia berpikir bahwa ia tidak akan bisa mengerjakan tes dengan baik, karena teringat pada kegagalannya di minggu sebelumnya. Pada saat itu ia berada di modus DMN dan sulit untuk berpindah modus ke TPN untuk fokus mengerjakan tes di hadapannya. Untuk menanganinya saya sengaja memberikan soal tes satu-persatu kepadanya. Ia pun mulai mengerjakan soal tes dan berpindah ke modus TPN. Setiap kali ia selesai mengerjakan satu soal, ia boleh berjalan-jalan di sekitar tempat duduk atau lari di tempat selama setengah menit. Dengan cara ini ia mendapat kesempatan untuk berpindah dari TPN ke DMN. Setelah itu ia kembali mengerjakan soal selanjutnya, atau kembali ke modus TPN.

Dalam jangka waktu yang lama, kesulitan ini dapat pula mempengaruhi relasi sosial dan kesehatan mental individu. Seorang mahasiswa bercerita kepada saya bahwa ia sering merasa dijauhi teman-temannya karena selera humornya yang dianggapnya berlebihan. Ketika berbicang dengan seseorang, ia terfokus pada pembicaraan tersebut dan berada dalam modus TPN. Namun dalam pikirannya sering tercetus sesuatu yang lucu yang berkaitan dengan topik yang sedang dibicarakan, ini berarti pikirannya bergeser ke modus DMN. Ia kerap segera mengungkapkan lelucon tersebut kepada lawan bicaranya, tanpa melihat konteks pembicaraan yang sedang terjadi. Alhasil ia dianggap tidak serius dan usahanya untuk melucu dianggap tidak sesuai. Hal ini terjadi berulang kali sehingga sang mahasiswa cemas berada di situasi sosial yang baru dan berusaha sebisa mungkin untuk diam kecuali ada pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Ia merasa tidak nyaman dengan strateginya ini, karena membatasi dirinya dalam relasi sosial dan membuatnya menghakimi dirinya sendiri setiap kali ia tanpa sengaja mengucapkan kata-kata yang dianggapnya bodoh.

Bagi sebagian besar orang pemusatan perhatian merupakan satu hal yang tidak sulit untuk dilakukan. Untuk beberapa orang lainnya, pemusatan perhatian tidak datang secara intuitif, namun bisa dilatih. Psychatter akan membahas topik ini selama bulan Februari 2022.

Referensi: Hallowey, E. & Ratey, J.J. (2021). ADHD 2.0. New York: Random House.

Recent Posts

Categories