Materi tentang seks tersebar luas. Sangat mudah mengakses video orang melakukan aktivitas seksual dan mencari saran atau tips tentang kegiatan seksual. Namun di sisi lain, seks masih dianggap tabu. Pengaruh budaya dan agama di lingkungan cenderung mendorong sikap negatif terhadap seksualitas serta memberikan konotasi negatif tentang kegiatan seksual. Kerap terdapat keraguan untuk membicarakan seks secara terbuka, misalnya kepada anak, dokter, atau bahkan bersama pasangan sendiri. Informasi tentang seks mudah didapatkan, namun banyak orang enggan atau bahkan sulit mendapatkan umpan balik tentang seksualitas pribadinya. Semua hal ini menjadi tantangan dalam membuat batasan seks yang sehat.
Seksualitas sendiri adalah penghayatan dan ekspresi pemikiran, perasaan, dan ketertarikan individu tentang seks. Barker (2018) dalam bukunya The Psychology of Sex memaparkan beberapa aspek seksualitas. Sebagai sebuah identitas, seksualitas menentukan penghayatan individu akan dirinya sebagai laki-laki, perempuan, atau penghayatan lainnya. Identitas ini secara umum dianggap menetap dan bisa jadi tidak tergantung dengan alat kelamin yang dimiliki individu. Sebagai sebuah orientasi, seksualitas merupakan ketertarikan terhadap individu lain, misalnya terhadap individu yang berbeda jenis kelamin (orientasi heteroseksual), sesama jenis kelamin (orientasi homoseksual), atau berbagai variasi lainnya. Dalam tulisan kali ini, pembahasan seksualitas dibatasi dalam konteks relasi interpersonal, yaitu hubungan antara dua individu.
Badan kesehatan dunia atau World Health Organization (2006) mendefinisikan kesehatan seksual sebagai kondisi sejahtera secara fisik, emosional, mental, dan sosial yang berkaitan dengan seksualitas individu. Hal ini lebih dari sekedar ketiadaan penyakit atau disfungsi seksual. Individu yang sehat secara seksual memandang seksualitasnya secara positif, terbuka untuk mendapatkan pengalaman seksual yang nikmat dan aman, bebas dari paksaan, tanpa diskriminasi atau kekerasan (WHO, 2006). Lebih jauh lagi Firestone, Firestone dan Catlett (2006) menyatakan bahwa seksualitas yang sehat terjadi dalam konteks relasi, di mana kedua pihak memiliki kontak emosional yang dekat serta saling memberi dan menerima kasih sayang atau kenikmatan seksual.
Firestone et al. (2006) memaparkan beberapa kualitas personal yang berkaitan dengan relasi seksual yang sehat dengan pasangan. Kualitas pertama adalah sikap yang terbuka dan nondefensif terhadap seksualitas. Sikap nondefensif dapat diartikan kesiapan untuk menerima pendapat orang lain secara netral. Hal ini berkaitan dengan komunikasi antar individu dalam kegiatan seksual. Komunikasi baiknya dilakukan secara terbuka dan tanpa prasangka bahwa individu merendahkan penampilan atau performa seksual pasangannya. Rasa malu atau bersalah dapat menghalangi komunikasi yang apa adanya terhadap pasangan.
Kualitas kedua adalah kejujuran dan integritas. Kejujuran akan seksualitas membutuhkan pemahaman yang baik akan diri sendiri sehingga individu dapat mengkomunikasikan kebutuhannya secara apa adanya kepada pasangan. Di samping itu dibutuhkan integritas atau kesesuaian antara pesan yang disampaikan dengan perilaku individu secara konkrit. Misalnya individu yang menyatakan dirinya setia pada pasangan namun melakukan perselingkuhan, dapat menyebabkan hilangnya rasa percaya di dalam hubungannya dengan pasangan.
Menghormati pasangan sebagai individu lain adalah kualitas personal lainnya yang berkaitan dengan relasi seksual yang sehat. Walaupun memiliki tujuan dan preferensi yang sama, sepasang individu tetap adalah dua individu yang berbeda. Di dalam relasi yang ideal, baiknya tiap individu yang terlibat menyadari bahwa pasangannya adalah individu dengan kebutuhan dan ketertarikan yang bisa jadi berbeda dengan dirinya. Hal ini juga penting agar individu dapat menerima dan menyatakan batasan dalam kegiatan seksual, misalnya kapan atau apa kegiatan seksual yang dilakukan bersama pasangan.
Individu dengan seksualitas yang sehat mampu memberi dan menerima kasih sayang. Kegiatan seksual meliputi interaksi fisik dan emosional yang sangat dekat antara dua individu. Untuk melakukan hal ini, individu harus belajar terlebih dahulu untuk menghargai dirinya. Sayangnya pengalaman di masa kecil dapat menghalangi individu untuk menghargai dirinya. Individu dewasa dengan trauma masa kecil bisa jadi terbiasa memandang rendah dirinya dan menganggap dirinya tidak pantas untuk dikasihi. Konsep diri yang negatif ini harus diubah agar individu mampu mengembangkan seksualitas yang sehat.
Empati juga berkaitan dengan relasi seksual yang sehat bersama pasangan. Kemampuan individu untuk melihat dari sudut pandang pasangannya – apa keinginan dan nilai pribadi pasangannya – dapat mendorong pengertian dan selanjutnya komunikasi yang positif antara keduanya. Selanjutnya kemampuan untuk tampil apa adanya di depan pasangan juga menjadi dasar yang penting dalam relasi seksual. Trauma atau pengalaman lain yang menyebabkan hilangnya rasa percaya dalam relasi dapat membuat individu melindungi dirinya dari kemungkinan tersakiti atau tertolak dalam hubungan seksual.
Firestone et al. (2006) memaparkan kesimpulan karakteristik individu dewasa yang dengan seksualitas yang sehat, di antaranya:
- Dapat menghargai tubuhnya sendiri.
- Dapat mencari informasi reproduksi bila dibutuhkan.
- Dapat menerima bahwa perkembangan manusia melibatkan perkembangan seksual yang bisa atau bisa jadi tidak melibatkan reproduksi atau kegiatan seksual.
- Dapat berinteraksi dengan berbagai kelompok gender dengan hormat.
- Dapat menerima orientasi seksual pribadi dan menghormati orientasi seksual orang lain.
- Dapat mengembangkan dan mempertahankan relasi sosial yang bermakna.
- Dapat menghindari relasi sosial yang manipulatif atau mengeksploitasi dirinya.
Terdapat beberapa kualitas yang berkaitan dengan seksualitas yang sehat dalam sebuah relasi interpersonal. Walaupun sangat dipengaruhi oleh pengalaman individu di tahap perkembangan sebelumnya, semua kualitas ini dapat dilatih dan dipelajari. Pendampingan psikologis secara profesional dapat membantu individu untuk mengembangkan seksualitas yang sehat. Di samping itu dibutuhkan pula pendidikan seksual yang juga memperlengkapi individu untuk dapat menerima dirinya secara positif dan berinteraksi secara positif pula dengan orang lain.
Referensi:
Barker, M. J. (2018). The Psychology of Sex. New York: Routledge.
Firestone, R.W, Firestone L.A., & Catlett, J. (2006). Sex and Love in Intimate Relationship. Washington, DC: American Psychological Association.
World Health Organization. (2006). Defining sexual health: Report of a technical consultation on sexual health. Retrieved from http://www.who.int/reproductivehealth/publications/sexual_health/defining_sh/en/