Psychatter

Psychatter

chatting for better understanding

5-Minute Read

Anak

Kondisi pandemi yang berkelanjutan menuntut pemikiran dan kebiasaan baru menghadapi potensi penularan penyakit dan usaha menjaga kesehatan mental. Juga dalam pengasuhan anak, berbagai strategi dibutuhkan untuk mendukung perkembangan anak di tengah keterbatasan akibat pandemi. Dibandingkan kelompok usia dewasa, anak dan remaja terpaksa mendapat kesempatan yang lebih sedikit untuk bersosialisasi atau melakukan kegiatan di luar rumah seperti sebelum masa pandemi. Akibat penutupan sekolah, ruang lingkup sosialisasi anak menjadi menyempit. Padahal kontak sosial berperan penting dalam mendukung perkembangan anak, yang merupakan interaksi antara pertumbuhan fisik dengan perkembangan emosional dan kondisi sosial di sekitar anak. Di samping itu tekanan yang dihadapi orangtua atau guru dapat turut dirasakan oleh anak di rumah dan sekolah.

Pada penelitian yang dilakukan Larsen, Helland dan Holt di tahun 2021 terhadap sekitar 2300 keluarga di Norwegia, partisipan anak melaporkan lebih banyak keluhan fisik dan kognitif dibandingkan dengan reaksi emosional negatif. Perasaan sedih, ketakutan, atau kemarahan dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan perasaan kesepian, kesulitan berkonsentrasi, dan masalah tidur di malam hari. Di samping itu, anak di usia remaja mengalami lebih banyak masalah emosional dibandingkan anak yang di kelompok usia lebih muda, karena terbatasnya kesempatan untuk belajar mandiri dari keluarga di rumah dan mencari dukungan dari teman atau komunitas di luar rumah.

Rendahnya keluhan emosional pada anak tidak berarti bahwa anak bebas dari masalah kesehatan mental. Bila dilihat lebih mendalam, masalah kesehatan mental anak ditunjukkan dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan orang dewasa. Perubahan perilaku, suasana hati, pola tidur, pola makan, atau sosialisasi yang mencolok dan berlangsung dalam waktu lebih lama dapat menjadi indikasi masalah kesehatan mental pada anak. Oleh karena mereka masih berada di tahapan awal perkembangan emosional dan kognitif, anak umumnya membutuhkan bantuan untuk dapat mengungkapkan secara verbal dan terbuka bahwa mereka merasa tertekan atau bermasalah.

Carolyn Saarni pada tahun 2011 menjabarkan perkembangan emosional individu yang dimulai sejak bayi. Tahapan perkembangan ini didasarkan pada pengamatan secara umum dan mungkin tidak merepresentasikan semua individu di kelompok usia yang dijabarkan. Hingga usia 12 bulan, bayi mengandalkan pengasuhnya untuk mendukung di situasi menekan. Bayi di tahap ini belajar bahwa perilaku tertentu dapat mengundang reaksi tertentu pula dari orang lain, misalnya ia akan mendapat perhatian bila menangis. Kemudian di tahap selanjutnya hingga usia sekitar 2,5 tahun, kesadaran diri anak berkembang dan mereka mulai memahami kata-kata sederhana untuk mengungkapkan perasaan dan mulai dapat membedakan berbagai perasaan. Selanjutnya di usia balita, anak mulai dapat bermain pura-pura, di mana mereka menunjukkan ekspresi tertentu yang belum tentu sesuai dengan emosi yang dialami. Di usia ini anak juga mulai dapat menunjukkan rasa kasihan dan membantu orang lain yang dianggap mengalami kesulitan.

Masuk di tahapan usia sekolah awal, yaitu 5-7 tahun, anak belajar mengelola emosi sesuai tuntutan lingkungan. Misalnya berusaha tidak menangis saat berada di depan teman-temannya. Anak masih mencari bantuan dari orang dewasa saat mengalami kesulitan, namun juga berusaha untuk memecahkan masalahnya secara mandiri. Di tahapan selanjutnya, yaitu di usia 7-10 tahun, anak sengaja menghindari hal-hal memicu emosi negatif dan yang tidak dapat ia kendalikan. Selain itu anak belajar menunjukkan emosi tertentu yang sesuai dengan norma di lingkungannya, misalnya tersenyum dengan ramah saat mendekati seorang teman. Keterampilan ini semakin terasah di tahapan usia selanjutnya, yaitu usia 10-13 tahun, di mana remaja dapat membedakan mana ekspresi emosi yang asli dan mana yang sengaja dimunculkan di situasi sosial tertentu. Remaja di tahap ini juga belajar berbagai strategi untuk mengatasi tekanan dari lingkungan. Di tahap akhir, yaitu di usia 13 tahun hingga dewasa, individu dapat mengenali perasaan dalam diri secara lebih tepat, mengatur ekspresi emosi untuk mencapai tujuan tertentu, dan menyadari pentingnya serta belajar mengkomunikasikan perasaan dalam relasi sosial.

Di masa pandemi, orangtua, guru, atau pemerhati anak dan remaja dapat mendampingi mereka mengembangkan ketangguhan secara mental. Pertama, adalah penting mendiskusikan pandangan yang realistis tentang pandemi kepada anak dan remaja: bahwa protokol kesehatan yang ketat perlu diterapkan untuk mencegah penyebaran penyakit yang lebih luas, bahwa individu tidak bisa 100% melindungi dirinya atau orang lain dari infeksi, bahwa kapasitas fasilitas kesehatan terbatas, dan bahwa pada kelompok tertentu tingkat kesembuhan justru lebih tinggi. Pandangan ini baiknya dikomunikasikan sesuai tingkat pemahaman anak. Kedua, anak dan remaja dapat didampingi untuk mengkomunikasikan perasaannya dengan jujur, baik emosi positif maupun negatif. Patut diingat bahwa perasaan anak adalah perasaan pribadinya, bukan kritik atau protes terhadap orangtua atau orang dewasa lainnya. Proses ini bisa jadi sulit untuk dilakukan, maka keterbukaan baiknya dimulai dari orangtua.

Selanjutnya orang dewasa dapat mendampingi anak dan remaja untuk melihat apakah perasaan dan strateginya untuk mengelola perasaan tersebut membawa manfaat. Bila tidak, dapat didiskusikan bersama, strategi apa yang bisa jadi lebih tepat untuk mengelola perasaan tersebut. Misalnya anak merasa kesepian dan berusaha mengatasinya dengan melihat media sosial atau bermain game online sepanjang hari. Sebagai alternatif terdapat beberapa aktivitas kelompok yang dapat dimainkan secara live di luar ruangan, tetapi juga tidak membutuhkan kontak langsung, misalnya Geocaching atau menyembunyikan dan mencari harta karun di lingkungan sekitar rumah. Bila perasaan tersebut tidak dapat segera dikelola karena berbagai keterbatasan di lingkungan, orangtua dan anak juga dapat mendiskusikan, bagaimana mengalihkan perhatian kepada hal-hal yang lebih berguna, misalnya mencoba menekuni hobi baru.

Hidup selalu penuh dengan perubahan dan pandemi adalah salah satunya. Mengarungi perubahan ini sambil mendampingi anak dan remaja memang tidak mudah, namun hal ini bisa menjadi kesempatan, baik bagi orangtua maupun anak, untuk mengembangkan ketangguhan mental.

Recent Posts

Categories