Generasi adalah kelompok individu di masyarakat yang memiliki umur tidak jauh berbeda atau sama-sama memiliki karakteristik tersendiri yang berkaitan erat dengan peristiwa historis atau kultural di era tertentu saat mereka bertumbuh dewasa. Karakteristik tiap generasi juga tidak dapat dilepaskan dari generasi sebelumnya dan turut memberi warna pada generasi sesudahnya. Pew Research Center di tahun 2020 memaparkan beberapa generasi yang dikelompokkan berdasarkan tahun lahir: Silent Generation, Baby Boomer, Gen X, Millennials, Gen Z, dan Alpha Generation.
Individu yang lahir di tahun 1928-1945 dikelompokkan dalam Silent Generation atau Generasi Sunyi. Individu yang lahir di era ini tumbuh di situasi yang tidak menentu akibat perang dunia dan karena alasan keamanan tidak terbiasa menyuarakan pendapat pribadi mereka yang bertentangan dengan otoritas. Setelah perang dunia berakhir, hadirlah pada tahun 1945-1964 generasi Baby Boomer. Label tersebut menunjukkan peningkatan jumlah populasi akibat pertumbuhan tingkat kelahiran bayi secara pesat setelah perang berakhir. Individu di generasi ini berkembang di tengah pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi sehingga terbiasa dengan kompetisi dan menjunjung tinggi produktivitas. Di tahun 1965-1980 hadir Gen X yang lebih individualis dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Hal ini didukung oleh meningkatnya penggunaan teknologi dibarengi dengan ketidakpercayaan pada pihak otoritas akibat gejolak politik dan isu kerusakan lingkungan. Kemudian individu yang lahir di tahun 1981 hingga 1996 dikelompokkan sebagai Millennials. Generasi ini berkembang di tengah arus informasi global dan berbagai perubahan masyarakat yang berlangsung cepat, misalnya perubahan iklim dan terorisme. Tidak heran bila individu di generasi ini memberi nilai lebih pada kebebasan pribadi dan berusaha mencari kepuasan yang bisa langsung dinikmati.
Perkembangan individu di generasi selanjutnya tidak bisa dilepaskan dari penggunaan media digital dan adaptasi akibat pandemi. Di tahun 1997-2009 hadir Gen Z yang merupakan generasi pertama yang terbiasa menggunakan teknologi digital sejak usia dini dan komunikasi sosial sehari-hari tidak bisa dilepaskan dari media sosial digital. Generasi yang di kini berada di periode usia remaja ini cenderung mencari pengakuan dan identitas di media sosial serta cenderung memiliki waktu interaksi sosial secara langsung yang lebih sedikit dibandingkan interaksi lewat media digital. Keterbatasan ini bisa jadi diperkuat melalui pembatasan sosial di masa pandemi. Kemudian mulai tahun 2010 lahirlah individu di Alpha Generation. Keseharian anak yang lahir di periode ini sulit dilepaskan dari teknologi digital yang menjadi sumber hiburan, edukasi, sekaligus aspirasi profesi di masa depan yang berbeda dengan profesi tradisional, misalnya anak yang bercita-cita menjadi Influencer atau YouTuber.
Alpha Generation dan Gen Z menjalani masa kanak-kanak dan remaja mereka di tengah pandemi. Walaupun dari segi kesehatan fisik mereka memiliki resiko komplikasi penyakit akibat infeksi COVID-19 yang lebih rendah dibandingkan kelompok usia lain, anak dan remaja justru memiliki peluang lebih tinggi mengembangkan masalah kesehatan mental akibat pandemi. Studi COPSY yang dilakukan pada tahun 2020 oleh Universitas Hamburg di Jerman menunjukkan 4 dari 5 partisipan studi yang berada di kelompok usia anak dan remaja merasa kualitas hidup mereka menurun akibat pandemi. Di samping itu, studi COPSY menunjukkan masalah kesehatan mental pada anak dan remaja muncul dalam bentuk keluhan fisik, misalnya sakit kepala atau sakit perut. Tidak hanya tekanan pribadi, stres yang dialami orangtua semasa pandemi karena tekanan finansial dan harus bekerja sambil mendampingi kegiatan anak di rumah turut dirasakan oleh anak dan remaja. Selain itu kurangnya aktivitas fisik dan penggunaan media digital yang berlebihan dapat menjadi resiko pula bagi pertumbuhan fisik anak dan remaja.
Gen Z atau remaja ditemukan paling rentan mengembangkan masalah kesehatan mental dibandingkan anak. Remaja memiliki tugas mengembangkan keterampilan yang mendukung kemandirian mereka kelak sebagai orang dewasa sekaligus mengembangkan identitas atau jati diri pribadi. Pembatasan sosial di masa pandemi mengurangi kesempatan bagi mereka untuk mengumpulkan pengalaman praktis, mempelajari keterampilan baru secara langsung dan belajar bekerjasama dengan teman seusianya. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga dan kontak dengan teman seusianya terjalin lebih banyak lewat media digital. Hal ini belum menjadi potensi masalah bagi kelompok usia anak yang belum memiliki lingkaran sosial dan minat seluas kelompok usia remaja.
Patut diingat bahwa setiap generasi memiliki tantangan tersendiri pada periode perkembangan mereka. Di sisi lain selalu terbuka peluang mengembangkan ketangguhan mental dengan menggunakan sumber daya yang tersedia. Sumber daya pertama dan terutama bagi anak dan remaja adalah keluarga. Anak dan orangtua dapat belajar bersama untuk berbicara secara terbuka tentang kecemasan dan keprihatinan sehari-hari. Respon negatif saat menghadapi masalah adalah normal dan tidak harus melulu disanggah dengan pemikiran positif yang tidak realistis. Orangtua dapat menjadi model dengan cara terbuka tentang masalah kesehatan mental mereka dan bagaimana menghadapinya. Strategi orangtua menghadapi masalah tersebut bisa jadi belum menunjukkan hasil, namun hal ini bisa membuat anak menyadari bahwa penyelesaian masalah memang membutuhkan waktu. Percakapan di keluarga dapat diintegrasikan dalam rutinitas sehari-hari, misalnya saat makan bersama, tidak hanya saat terjadi masalah yang harus diselesaikan. Orang dewasa di luar keluarga inti seperti guru, konselor atau paman dan bibi juga dapat dilibatkan dalam percakapan rutin tersebut.
Dukungan dari komunitas di luar keluarga juga menjadi sumber daya penting untuk mendukung ketangguhan mental anak dan remaja. Keluarga dapat menggunakan layanan telekonseling dalam jaringan maupun melalui telepon. Komunitas seperti sekolah maupun kelompok agama dapat secara langsung mendukung keluarga mengakses layanan kesehatan mental, terutama untuk keluarga dengan tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah atau keluarga yang anggotanya mengalami masalah kesehatan fisik atau psikis. Kunjungan langsung ke keluarga dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan dapat menjadi pilihan.
Literasi digital di samping itu menjadi salah satu keterampilan yang penting bagi anak dan remaja. Gen Z dan Alpha Generation sebaiknya didorong untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi digital, namun juga mempelajari mekanisme di baliknya. Pendidik di sekolah maupun komunitas dapat membahas cara kerja algoritma media sosial, perlindungan data atau anonimitas di dunia maya.
Penting pula bagi orang dewasa untuk mawas diri akan bias akibat perbedaan rentang generasi antara mereka dan anak. Orangtua Gen Z dan Alpha Generation umumnya berasal dari generasi Millennials atau Gen X. Kedua generasi ini memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik dan cenderung lebih terbuka terhadap budaya lain bila dibandingkan dengan Baby Boomer atau Silent Generation. Hal ini membuat orangtua dari kedua generasi ini cenderung lebih banyak mengumpulkan informasi tentang perkembangan anak serta menggunakan pengasuhan secara positif dan demokratis dibandingkan dengan orangtua dari generasi sebelumnya. Di sisi lain, orangtua bisa jadi terlalu melibatkan diri dalam mengatur kegiatan anak sehari-hari sehingga meninggalkan sedikit ruang bagi anak mengatur dirinya sendiri dan mengembangkan keunikan pribadinya. Begitu pula dengan penggunaan media digital dalam kehidupan sehari-hari. Ketika orangtua berada di periode usia yang sama dengan anak dan remaja mereka, penggunaan media digital belum seluas saat ini.
Pandemi adalah peristiwa luar biasa yang memberi warna dan menyertai perkembangan di tiap generasi dengan intensitas yang berbeda-beda. Dukungan dari keluarga, komunitas, dan penggunaan teknologi digital secara bijak dapat membantu anak dan remaja tetap mengembangkan ketangguhan mental di tengah kesulitan sehari-hari akibat pandemi. Selamat hari anak nasional.